Kenapa Anak Suka Melawan dan Susah Diatur?
inilah 37 Kebiasaan Orang
Tua yang Menghasilkan Perilaku Buruk pada anak
Apakah anda
kesulitan karena anak anda selalu nonton tv / maen ps (game) / maen gadget?
Dikutip dari sayangianak.com
Dikutip dari sayangianak.com
Jika anda
menjawab ya dari salah satu pertanyaan diatas,
maka ada
baiknya baca tips tips dibawah ini.
Berikut ini
adalah tips tips dari buku Ayah Edy ini.
1. RAJA YANG TAK PERNAH SALAH
Sewaktu anak kita masih kecil dan belajar jalan
tidak jarang tanpa sengaja mereka menabrak kursi atau meja. Lalu mereka
menangis.
Umumnya, yang dilakukan oleh orang tua supaya
tangisan anak berhenti adalah dengan memukul kursi atau meja yang tanpa sengaja
mereka tabrak. Sambil mengatakan, “Siapa yang nakal ya? Ini sudah Papa/Mama
pukul kursi/mejanya…sudah cup….cup…diem ya..
Akhirnya si anak pun terdiam.
Ketika proses pemukulan terhadap benda benda yang mereka tabrak terjadi,
Ketika proses pemukulan terhadap benda benda yang mereka tabrak terjadi,
sebenarnya kita telah mengajarkan kepada anak
kita bahwa ia tidak pernah bersalah.
Yang salah orang atau benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa.
Yang salah orang atau benda lain. Pemikiran ini akan terus terbawa hingga ia dewasa.
Akibatnya, setiap ia mengalami suatu peristiwa
dan terjadi suatu kekeliruan, maka yang keliru atau salah adalah orang lain,
dan dirinya selalu benar. Akibat lebih lanjut, yang pantas untuk diberi
peringatan sanksi, atau hukuman adalah orang lain yang tidak melakukan suatu
kekeliruan atau kesalahan.
Kita sebagai orang tua baru menyadari hal tersebut ketika si anak sudah mulai melawan pada kita.
Kita sebagai orang tua baru menyadari hal tersebut ketika si anak sudah mulai melawan pada kita.
Perilaku melawan ini terbangun sejak kecil karena
tanpa sadar kita telah mengajarkan untuk tidak pernah merasa bersalah.
Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak yang baru berjalan menabrak sesuatu sehingga membuatnya menangis?
Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan ketika si anak yang baru berjalan menabrak sesuatu sehingga membuatnya menangis?
Yang sebaiknya kita lakukan adalah ajarilah ia
untuk bertanggung jawab atas apa yang terjadi;
katakanlah padanya (sambil mengusap bagian yang
menurutnya terasa sakit):
“Sayang, kamu terbentur ya. Sakit ya? Lain kali
hati-hati ya, jalannya pelan-pelan saja dulu supaya tidak membentur lagi.”
2. BERBOHONG KECIL
Awalnya anak-anak kita adalah anak yang selalu
mendengarkan kata-kata orang tuanya, Mengapa?
Karena mereka percaya sepenuhnya pada orang
tuanya.
Namun, ketika anak beranjak besar, ia sudah tidak
menuruti perkataan atau permintaan kita? Apa yang terjadi?
Apakah anak kita sudah tidak percaya lagi dengan
perkataan atau ucapan-ucapan kita lagi?
Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya.
Tanpa sadar kita sebagai orang tua setiap hari sering membohongi anak untuk menghindari keinginannya.
Salah satu contoh pada saat kita terburu-buru
pergi ke kantor di pagi hari, anak kita meminta ikut atau mengajak berkeliling
perumahan.
Apa yang kita lakukan? Apakah kita menjelaskannya
dengan kalimat yang jujur?
Atau kita lebih memilih berbohong dengan
mengalihkan perhatian si kecil ke tempat lain, setelah itu kita buru-buru
pergi?
Atau yang ekstrem kita mengatakan, “Papa/Mama
hanya sebentar kok, hanya ke depan saja ya, sebentar saja ya, Sayang.”
Tapi ternyata, kita pulang malam.
Contah lain yang sering kita lakukan ketika kita
sedang menyuapi makan anak kita,
“Kalo maemnya susah, nanti Papa?Mama tidak ajak
jalan-jalan loh.”
Padahal secara logika antara jalan-jalan dan
cara/pola makan anak, tidak ada hubungannya sama sekali.
Dari beberapa contah di atas, jika kita berbohong ringan atau sering kita istilahkan “bohong kecil”, dampaknya ternyata besar.
Dari beberapa contah di atas, jika kita berbohong ringan atau sering kita istilahkan “bohong kecil”, dampaknya ternyata besar.
Anak tidak percaya lagi dengan kita sebagai orang
tua.
Anak tidak dapat membedakan pernyataan kita yang
bisa dipercaya atau tidak, akibat lebih lanjut,
anak menganggap semua yang diucapkan oleh orang
tuanya itu selalu bohong, anak mulai tidak menuruti segala perkataan kita.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Berkatalah dengan jujur kepada anak. Ungkapkan
dengan penuh kasih dan pengertian:
“Sayang, Papa/Mama mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo Papa/Mama ke kebun binatang, kamu bisa ikut.”
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini.
“Sayang, Papa/Mama mau pergi ke kantor. Kamu tidak bisa ikut. Tapi kalo Papa/Mama ke kebun binatang, kamu bisa ikut.”
Kita tak perlu merasa khawatir dan menjadi terburu-buru dengan keadaan ini.
Pastinya membutuhkan waktu lebih untuk memberi
pengertian kepada anak karena biasanya mereka menangis.
Anak menangis karena ia belum memahami keadaan
mengapa orang tuanya harus selalu pergi di pagi hari.
Kita harus bersabar dan lakukan pengertian kepada
mereka secara terus menerus.
Perlahan anak akan memahami keadaan mengapa orang
tuanya selalu pergi di pagi hari dan bila pergi bekerja, anak tidak bisa ikut.
Sebaliknya bila pergi ke tempat selain kantor, anak
pasti diajak orang tuanya.
Pastikan kita selalu jujur dalam mengatakan
sesuatu. Anak akan mampu memahami dan menuruti apa yang kita katakan.
3. BANYAK MENGANCAM
“Adik, jangan naik ke atas meja! nanti jatuh dan
nggak ada yang mau menolong!”
“Jangan ganggu adik,nanti Mama/Papa marah!”
Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya melarang atau perintah dan dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita beranjak dari tempat duduk atau tanpa kita menghentikan suatu aktivitas, pernyataan itu sudah termasuk ancaman. Terlebih ada kalimat tambahan “….nanti Mama/Papa marah!”
Seorang anak adalah makhluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola orang tuanya;
“Jangan ganggu adik,nanti Mama/Papa marah!”
Dari sisi anak pernyataan yang sifatnya melarang atau perintah dan dilakukan dengan cara berteriak tanpa kita beranjak dari tempat duduk atau tanpa kita menghentikan suatu aktivitas, pernyataan itu sudah termasuk ancaman. Terlebih ada kalimat tambahan “….nanti Mama/Papa marah!”
Seorang anak adalah makhluk yang sangat pandai dalam mempelajari pola orang tuanya;
dia tidak hanya bisa mengetahui pola orang tuanya
mendidik, tapi dapat membelokkan pola atau malah mengendalikan pola orang
tuanya.
Hal ini terjadi bila kita sering menggunakan
ancaman dengan kata-kata,
namun setelah itu tidak ada tindak lanjut atau
mungkin kita sudah lupa dengan ancaman-ancaman yang pernah kita ucapkan
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Kita tidak perlu berteriak-teriak seperti itu.
Dekati si anak, hadapkan seluruh tubuh dan perhatian kita padanya.
Tatap matanya dengan lembut, namum perlihatkan
ekspresi kita tidak senang dengan tindakan yang mereka lakukan.
Sikap itu juga dipertegas dengan kata-kata,
“Sayang, Papa/Mama mohon supaya kamu boleh meminjamkan mainan ini pada adikmu.
Papa/Mama akan makin sayang sama kamu.”
Tidak perlu dengan ancaman atau teriaka-teriakan.
Atau kita bisa juga menyatakan suatu pernyataan yang menjelaskan suatu
konsekuensi,
misal “Sayang, bila kamu tidak meminjamkan mainan
in ke adikmu, Papa/Mama akan menyimpan mainan ini dan kalian berdua tidak bisa
bermain.
Mainan akan Papa/Mama keluarkan, bila kamu mau
pinjamkan mainan itu ke adikmu. Tepati
pernyataan kita dengan tindakan.
4. BICARA TIDAK TEPAT SASARAN
Pernahkah kita menghardik anak dengan kalimat
seperti,
“Papa/Mama tidak suka bila kamu begini/begitu!”
atau “Papa/Mama tidak mau kamu berbuat seperti itu lagi!”
Namun kita lupa menjelaskan secara rinci dan
dengan baik, hal2 atau tindakan apa saja yang kita inginkan.
Anak tidak pernah tahu apa yang diinginkan atai
dibutuhkan oleh orang tuanya dalam hal berperilaku.
Akibatnya anak terus mencoba sesuatu yang baru.
Dari sekian banyak percobaan yang dilakukannya, ternyata selalu dikatakan salah
oleh orang tuanya.
Hal ini mengakibatkan mereka berbalik untuk
dengan sengaja melakukan hal2 yang tidak disukai orang tuanya.
Tujuannya untuk membuat orang tuanya kesal
sebagai bentuk kekesalan yang juga ia alami (tindakannya selalu salah di
hadapan orang tua).
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Sampaikanlah hal2 atau tindakan2 yang kita
inginkan atau butuhkan pada saat kita menegur mereka terhadap perilaku atau hal
yang tidak kita sukai.
Komnikasikan secara intensif hal atau perilaku yang
kita inginkan atau butuhkan.
Dan pada waktunya, ketika mereka sudah megalami
dan melakukan segala hal atau perilaku yang kita inginkan atau butuhkan,
ucapkanlah terimakasih dengan tulus dan penuh
kasih sayang atas segala usahanya untuk berubah.
5. MENEKANKAN PADA HAL-HAL YANG SALAH
Kebiasaan ini hampir sama dengan kebiasaan di
atas.
Banyak orang tua yang sering mengeluhkan tentang
anak2nya tidak akur, suka bertengkar.
Pada saat anak kita bertengkar, perhatian kita
tertuju pada mereka, kita mencoba melerai atau bahkan memarahi.
Tapi apakah kita sebagai orang tua memperhatikan
mereka pada saat mereka bermain dengan akur?
Kita seringkali menganggapnya tidak perlu menyapa
mereka karena mereka sedang akur.
Pemikiran tersebut keliru, karena hak itu akan
memicu mereka untuk bertengkar agar bisa menarik perhatian orang tuanya.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Berilah pujian setiap kali mereka bermain sengan
asyik dan rukun,
setiap kali mereka berbagi di antara mereka
dengan kalimat sederhana dan mudah dipahami,
misal: ”Nah, gitu donk kalau main. Yang rukun.”
Peluklah mereka sebagai ungkapan senang dan
sayang.
6. MERENDAHKAN DIRI SENDIRI
Apa yang anda lakukan kalau melihat anak anda
bermain Playstation / Gadget lebih dari belajar?
Mungkin yang sering kita ucapkan pada mereka,
“Woy… mati in tuh PS nya, ntar dimarahin loh sama papa kalo pulang kerja!”
Atau kita ungkapkan dengan pernyataan lain, namun
tetap dengan figur yang mungkin ditakuti oleh anak pada saat itu.
Contoh pernyataan ancaman diatas adalah ketika
yang ditakuti adalah figur Papa.
Perhatikanlah kalimat ancaman tersebut.
Perhatikanlah kalimat ancaman tersebut.
Kita tidak sadar bahwa kita telah mengajarkan
pada anak bahwa yang mampu untuk menghentikan mereka maen ps adalah bapaknya,
artinya figure yang hanya ditakuti adalah sang
bapak.
Maka jangan heran kalau jika anak tidak
mengindahkan perkataan kita karena kita tidak mampu menghentikan mereka maen
ps.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Siapkanlah aturan main sebelum kita bicara; setelah siap, dekati anak, tatap matanya,
Siapkanlah aturan main sebelum kita bicara; setelah siap, dekati anak, tatap matanya,
dan katakan dengan nada serius bahwa kita ingin
ia berhenti main sekarang atau berikan pilihan,
misal “Sayang, Papa/Mama ingin kamu mandi. Kamu
mau mandi sekarang atau lima menit lagi?” bila jawabannya “lima menit lagi
Pa/Ma”.
Kita jawab kembali, “Baik, kita sepakat setelah
lima menit kamu mandi ya.
Tapi jika tidak berhenti setelah lima menit,
dengan terpaksa papa/mama akan simpan PS nya di lemari sampai lusa”.
Nah, persis setelah lima menit, dekati si anak,
tatap matanya dan katakan sudah lima menit, tanpa tawar menawar atau kompromi
lagi.
Jika sang anak tidak nurut, segera laksanakan
konsekuensinya.
7. PAPA DAN MAMA TIDAK KOMPAK
Mendidik abak bukan hanya tanggung jawab para ibu
atau bapak saja, tapi keduanya.
Orang tua harus memiliki kata sepakat dalam
mendidik anak2nya.
Anak dapat dengan mudah menangkap rasa yang
menyenangkan dan tidak menyenangkan bagi dirinya.
Misal, seorang Ibu melarang anaknya menonton TV
dan memintanya untuk mengerjakan PR,
namun pada saat yang bersamaan, si bapak membela
si anak dengan dalih tidak mengapa nonton TV terus agar anak tidak stress.
Jika hal ini terjadi, anak akan menilai ibunya
jahat dan bapaknya baik, akibatnya setiap kali ibunya memberi perintah,
ia akan mulai melawan dengan berlindung di balik
pembelaan bapaknya.
Demikian juga pada kasus sebaliknya. Oleh karena
itu, orang tua harus kompak dalam mendidik anak.
Di hadapan anak, jangan sampai berbeda pendapat
untuk hal2 yang berhubungan langsung dengan persoalan mendidik anak.
Pada saat salah satu dari kita sedang mendidik
anak, maka pasangan kita harus mendukungnya.
Contoh, ketika si Ibu mendidik anaknya untuk
berlaku baik terhadap si Kakak, dan si Ayah mengatakan,
”Kakak juga sih yang mulai duluan buat gara2…”.
Idealnya, si Ayah mendukung pernyataan, “Betul
kata Mama, Dik. Kakak juga perlu kamu sayang dan hormati….”
8. CAMPUR TANGAN KAKEK, NENEK, TANTE, ATAU PIHAK LAIN
Pada saat kita sebagai orang tua sudah berusaha
untuk kompak dan sepaham satu sama lain dalam mendidik anak-anak kita,
tiba-tiba ada pihak ke-3 yang muncul dan
cenderung membela si anak.
Pihak ke-3 yang dimaksud seperti kakek, nenek,
om, tante, atau pihak lain di luar keluarga inti.
Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama tidak Kompak),
Seperti pada kebiasaan ke-7 (Papa dan Mama tidak Kompak),
dampak ke anak tetap negatif bila dalam satu
rumah terdapat pihak di luar keluarga inti yang ikut mendidik pada saat
keluarga inti mendidik;
Anak akan cenderung berlindung di balik orang
yang membelanya. Anak juga cenderung melawan orang tuanya.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Pastikan dan yakinkan kepada siapa pun yang tinggal di rumah kita untuk memiliki kesepakatan dalam mendidik
Pastikan dan yakinkan kepada siapa pun yang tinggal di rumah kita untuk memiliki kesepakatan dalam mendidik
dan tidak ikut campur pada saat proses pendidikan
sedang dilakukan oleh kita sebagai orang tua si anak.
Berikan pengertian sedemikian rupa dengan bahasa
yang bisa diterima dengan baik oleh para pihak ke-3.
9. MENAKUTI ANAK
Kebiasaan ini lazim dilakukan oleh para orang tua
pada saat anak menangis dan berusaha untuk menenangkannya.
Kita juga terbiasa mengancam anak untuk
mengalihkan perhatiannya, “Awas ada Pak Satpam, ga boleh beli mainan itu!”
Hasilnya memang anak sering kali berhenti
merengek atau menangis,
namun secara tidak sadar kita telah menanamkan
rasa takut atau benci pada institusi atau pihak yang kita sebutkan.
Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan pengertian pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa
Sebaiknya, berkatalah jujur dan berikan pengertian pada anak seperti kita memberi pengertian kepada orang dewasa
karena sesungguhnya anak2 juga mampu berpikir
dewasa.
Jika anak tetap memaksa, katakanlah dengan penuh
pengertian dan tataplah matanya,
“Kamu boleh menangis, tapi Papa/Mama tetap tidak
akan membelikan permen.”
Biarkan anak kita yang memaksa tadi menangis
hingga diam dengan sendirinya.
10. UCAPAN DAN TINDAKAN TIDAK SESUAI
10. UCAPAN DAN TINDAKAN TIDAK SESUAI
Berlaku konsisten mutlak diperlukan dalam mendidk
anak.
Konsisten merupakan keseuaian antara yang dinyatakan
dan tidakan.
Anak memiliki
ingatan yang tajam terhadap suatu janji,
dan ia sangat menghormati orang-orang yang
menepati janji baik untuk beri hadiah atau janji untuk memberi sanksi.
So, jangan
pernah mengumbar janji ada anak dengan tujuan untuk merayunya,
agar ia mengikuti permintaan kita seperti segera
mandi, selalu belajar, tidak menonton televisi.
Pikirlah terlebih dahulu sebelum berjanji apakah
kita benar-benar bisa memenuhi janji tersebut.
Jika ada janji yang tidak bisa terpenuhi
segeralah minta maaf,
berikan alasan yang jujur dan minta dia untuk
menentukan apa yang kita bisa lakukan bersama anak untuk mengganti janji itu.
11. HADIAH UNTUK PERILAKU BURUK ANAK
Acapkali kita tidak konsisten dengan pernyataan
yang pernah kita nyatakan.
Bila hal ini terjadi, tanpa kita sadari kita
telah mengajari anak untuk melawan kita.
Contoh klasik dan sering terjadi adalah pada saat
kita bersama anak di tempat umum, anak merengek meminta sesuatu dan rengekennya
menjadi teriakan dan ada gerak perlawanan.
Anak terus mencari akal agar keinginnanya
dikabulkan, bahkan seringkali membuat kita sebagai orang tua malu.
Pada saat inilah kita seringkali luluh karena
tidak sabar lagi dengan rengekan anak kita.
Akhirnya kita mengiyakan keinginan si Anak. “Ya
sudah;kamu ambil satu permennya. Satu saja ya!”
Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah bagi perilaku buruk si Anak.
Pernyataan tersebut adalah sebagai hadiah bagi perilaku buruk si Anak.
Anak akan
mempelajarinya dan menerapkannya pada kesempatan lain bahkan mungkin dengan
cara yang lebih heboh lagi.
Menghadapi kondisi seperti ini, tetaplah konsisten; tidak perlu malu atau takut dikatakan sebagai orang tua yang kikir atau tega.
Menghadapi kondisi seperti ini, tetaplah konsisten; tidak perlu malu atau takut dikatakan sebagai orang tua yang kikir atau tega.
Orang berfikir demikian belum membaca buku
tentang ini dan mengalami masalah yang sama dengan kita.
Ingatlah selalu bahwa kita sedang mendidik anak,
sekali kita konsisten anak tak akan pernah mencobanya lagi.
Tetaplah KONSISTEN dan pantang menyerah! Apapun
alasannya, jangang pernah memberi hadiah pada perilaku buruk si anak.
12. MERASA BERSALAH KARENA TIDAK BISA MEMBERIKAN YANG TERBAIK
Kehidupan metropolitan telah memaksa sebagian
besar orang tua banyak menghabiskan waktu di kantor dan di jalan raya daripada
bersama anak.
Terbatasnya waktu inilah yang menyebabkan banyak
orang tua merasa bersalah atas situasi ini.
Akibat dari perasaan bersalah ini, kita, para
orang tua menyetujui perilaku buruk anaknya dengan ungkapan yang sering
dilontarkan,
“Biarlah dia seperti ini mungkin akrena saya juga
yang jarang bertemu dengannya…”
Semakin kita merasa bersalah terhadap keadaan, semakin banyak kita menyemai perilaku buruk anak kita.
Semakin kita merasa bersalah terhadap keadaan, semakin banyak kita menyemai perilaku buruk anak kita.
Semakin kita memaklumi perilaku buruk yang
diperbuat anak, akan semakin sering ia melakukannya.
Sebagian besar perilaku anak bermasalah yang
pernah saya (penulis) hadapi banyak bersumber dari cara berpikir orang tuanya
yang seperti ini.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Apa pun yang bisa kita berikan secara benar pada
anak kita adalah hal yang terbaik.
Kita tidak bisa membandingkan kondisi sosial
ekonomi dan waktu kita dengan orang lain.
Tiap keluarga memiliki masalah yang unik, tidak
sama.
Ada orang yang punya kelebihan pada sapek
finansial tapi miskin waktu bertemu dengan anak, dan sebaliknya.
Jangan pernah memaklumi hal yang tidak baik.
Lakukanlah pendekatan kualitas jika kita hanya
punya sedikit waktu;
gunakan waktu yang minim itu untuk bisa berbagi
rasa sepenuhnya antara sisa2 tenaga kita, memang tidak mudah.
Tapi lakukanlah demi mereka dan keluarga kita,
anak akan terbiasa.
13. MUDAH MENYERAH DAN PASRAH
Setiap manusia memiliki watak yang berbeda-beda,
ada yang lembut dan ada yang keras.
Dominan flegmatis adalah ciri atak yang dimiliki
oleh sebagian orang tua yang kurang tegas, mudah menyerah, selalu takut salah dan
cenderung mengalah, pasrah.
Konflik ini biasanya terjadi bila seorang yang
flegmatis mempunyai anak yang berwatak keras.
Dalam kondisi kita sebagai orang tua yang tidak
tegas dan mudah menyerah, si anak justru keras dan lebih tegas.
Akibatnya dalam banyak hal, si anak jauh lebih
dominan dan mengatur orang tuanya.
Akibat lebih lanjut, orang tua sulit
mengendalikan perilaku anaknya dan cenderung pasrah.
Saya [penulis] sering mendengar ucapan dari para
orang tua yang Dominan Flegmatis,
“Duh… anak saya itu memang keras betul… saya
sudah nggak sanggup lagi mengaturnya.”
Atau “Biar sajalah apa maunya, saya sudah nggak
sanggup lagi mendidiknya.”.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Belajarlah dan berusahalah dengan keras untuk
menjadi lebih tegas dalam mengambil keputusan,
tingkatkan watak keteguhan hati dan pantang
menyerah.
Jika perlu ambil orang-orang yang kita anggap
tegas untuk jadi penasihat harian kita.
14. MARAH YANG BERLEBIHAN
Kita seringkali menyamakan antara mendidik dengan
memarahi.
Perlu untuk selalu diingat, memarahi adalah salah
satu cara mendidik yang paling buruk.
Pada saat memarahi anak, kita tidak sedang
mendidik mereka,
melainkan melampiaskan tumpukan kekesalan kita
karena kita tidak bisa mengatasi masalah dengan baik.
Marah juga seringkali hanya berupa upaya untuk
melemparkan kesalahan pada pihak lain
[dan biasanya yang lebih lemah, kalo ama yang
lebih kuat ya takut].
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Jangan pernah bicara pada saat marah!
Jadi tahanlah dengan cara yang nyaman untuk kita
lakukan seperti masuk kamar mandi atau pergi menghindar sehingga amarah mereda.
Yang perlu dilakukan adalah bicara “tegas” bukan
bicara “keras”.
Bicara yang tegas adalah dengan nada yang datar,
dengan serius dan menatap wajah serta matanya dalam dalam.
Bicara tegas adalah bicara pada saat pikiran kita
rasional, sedangkan bicara keras adalah pada saat pikiran kita dikuasai emosi.
Satu contoh lagi yang kurang baik, pada saat marah biasanya kita emosi dan mengucapkan/melakukan hal hal yang kelak kita sesali, setelah ini terjadi,
Satu contoh lagi yang kurang baik, pada saat marah biasanya kita emosi dan mengucapkan/melakukan hal hal yang kelak kita sesali, setelah ini terjadi,
biasanya kita akan menyesal dan berusaha
memperbaikinya dengan memberikan dispensasi atau membolehkan hal-hal yang
sebelumnya kita larang.
Bila hal ini berlangsung berulang kali, maka anak
kita akan selalu berusaha memancing amarah kita, yang ujung ujungnya si anak
menikmati hasilnya.
Anak yang sering dimarahi cenderung tidak jadi
lebih baik kok.
15. GENGSI UNTUK MENYAPA
15. GENGSI UNTUK MENYAPA
Kita pasti pernah mengalami bahwa kita terlanjur
marah besar pada anak, biasanya amarah terbawa lebih dari sehari,
akibat dari rasa kesal yang masih tersisa dan
rasa gengsi, kita enggan menyapa anak kita.
Masing-masing pihak menunggu untuk memulai
kembali hubungan yang normal.
Apa yang harus kita lakukan agar komunikasi mencair kembali?
Apa yang harus kita lakukan agar komunikasi mencair kembali?
Siapa yang seharusnya memulai?
Kita sebagai orangtua lah yang seharusnya memulai
saat anak mulai menunjukkan tanda-tanda perdamaian dan mengikuti keinginan
kita.
Dengan cara
ini kita dapat menunjukkan pada anak bahwa kita tidak suka pada sikap sang
anak, bukan pada pribadinya.
16. MEMAKLUMI YANG TIDAK PADA TEMPATNYA
Ini biasanya terjadi pada kebanyakan orang tua
konservatif.
Misalnya melihat anak laki laki yang suka usil, nakal
banget dan suka ngacak,
orang tuanya cenderung mengatakan, “Yah… anak
cowo emang harus bandel”
atau saat melihat kakak adik lagi jambak
jambakan, mamanya bilang “maklumlah… namanya juga anak anak”.
Atau bahkan ketika si anak memukul teman atau
mbaknya, orang tua masih juga sempat berkelit dengan mengatakan
“ya begitu deh, maklumlah namanya juga anak anak.
Nggak sengaja…”
Bila kita selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan anak anak,
Bila kita selalu memaklumi tindakan keliru yang dilakukan anak anak,
otomatis si anak berpikir perilakunya sudah
benar,
dan akan jadi sangat buruk kalau terbawa sampai
ke dewasa.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Kita tidak perlu memaklumi hal yang tidak perlu
dimaklumi kok, kita harus mendidik setiap anak tanpa kecuali sesuai dengan
sifat dasarnya.
Setiap anak bisa dididik dengan tegas [ingat: bukan
keras] sejak usia 2 tahun.
Semakin dini usianya, semakin mudah untuk dikelola
dan diajak kerja sama.
Anak kita akan mau bekerja sama selama kita
selalu mengajaknya dialog dari hati ke hati, tegas, dan konsisten.
Ingat, tidak
perlu menunggu hingga usianya beranjak dewasa,
karena semakin
bertambah usia, semakin tinggi tingkat kesulitan untuk mengubah perilaku
buruknya.
17. PENGGUNAAN ISTILAH YANG TIDAK JELAS MAKSUDNYA
17. PENGGUNAAN ISTILAH YANG TIDAK JELAS MAKSUDNYA
Seberapa sering kita sebagai orang tua mengungkapkan
pernyataan seperti
“Awas ya, kalau kamu mau diajak sama mama/papa,
tidak boleh nakal!”
atau, “awas ya, kalau nanti diajak sama mama/papa,
jangan bikin malu mama”,
bisa juga terungkap, “kalo mau jalan jalan ke
taman bermain, jangan macam macam ya”.
Nah, tanpa disadari kita seringkali menggunakan istilah-istilah yang sulit dimengerti ataupun bermakna ganda.
Nah, tanpa disadari kita seringkali menggunakan istilah-istilah yang sulit dimengerti ataupun bermakna ganda.
Istilah ini akan membingungkan anak kita.
Dalam benak mereka bertanya apa yang dimaksud
dengan nakal, tingkah laku apa yang termasuk dalam kategori nakal,
begitu pula dengan istilah “jangan macam macam”,
perilaku apa yang termasuk kategori “macam macam”.
Selain bingung, mereka juga akan menebak nebak
arti dari istilah istilah tersebut.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Bicaralah dengan jelas dan spesifik, misalnya
“Sayang, kalau kamu mau ikut mama/papa, tidak
boleh minta mainan, permen, dan tidak boleh berteriak teriak di kasir seperti
kemarin ya”.
Hal ini penting agar anak mengetahui batasan batasan
apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
serta jangan lupa menyepakati apa konsekuensinya
bila kesepakatan ini dilanggar.
18. MENGHARAP PERUBAHAN INSTAN
Kita terbiasa hidup dalam budaya yang serba
instant, seperti mie instant, susu instant, teh instant.
Sehingga kita anak berbuat salah, kita sering
ingin sebuah perubahan yang instant pula,
misal ketika biasa terlambat bangun, nggak
beresin tempat tidur, sulit dimandikan, kita ingin agar anak kita berubah total
dalan jangka waktu sehari.
Apabila kita sering memaksakan perubahan pada anak kita dalam waku singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak sulit memenuhinya.
Apabila kita sering memaksakan perubahan pada anak kita dalam waku singkat tanpa tahapan yang wajar, kemungkinan besar anak sulit memenuhinya.
Dan ketika ia gagal dalam memenuhi keinginan
kita, ia akan frustasi dan tidak yakin bisa melakukanannya lagi.
Akibatnya ia memilih untuk melakukan perlawanan
seperti banyak bikin alasan, acuh tak acuh, atau marah marah pada adiknya.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Jika kita mengharapkan perubahan kebiasaaan pada
anak, berikanlah waktu untuk tahapan tahapan perubahan yang rasional untuk bisa
dicapainya. Hindari target perubahan yang tidak mungkin bisa dicapainya. Bila
mungkin, ajaklah ia untuk melakukan perubahan dari hal yang paling mudah.
Biarkanlah ia memilih hal yang paling mudah menurutnya untuk diubah.
Keberhasilannya untuk melakukan perubahan tersebut memotivasi anak untuk
melakukan perubahan lainnya yang lebih sulit. Puji dan jika perlu rayakan
keberhasilan yang dicapainya, sekecil dan sesederhana apapun perubahan itu. Hal
ini untuk menunjukkan betapa seriusnya perhatian kita terhadap usaha yang telah
dilakukannya. Pusatkan perhatian dan pujian kita pada usahanya, bukan pada
hasilnya.
19. PENDENGAR YANG BURUK
Sebagian besar orang tua adalah pendengar yang
buruk bagi anak anaknya. Benarkah?
Bila ada suatu masalah yang terjadi pada anak,
orang tua lebih suka menyela,
langsung menasehati tanpa mau bertanya
permasalahannya serta asal usul kejadiannya.
Sebagai contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya pulangnya siang, dia datang di sore hari.
Sebagai contoh, anak kita baru saja pulang sekolah yang mestinya pulangnya siang, dia datang di sore hari.
Kita tidak mendapat keterangan apapun darinya
atas keterlambatan tersebut. Tentu saja kita kesal menunggu dan sekaligus
khawatir.
Lalu pada saat anak kita sampai dan masih lelah,
kita langsung menyambutnya dengan serentetan pertanyaan dan omelan.
Bahkan setiap kali anak hendak bicara, kita selalu
memotongnya. Akibatnya ia malah tidak mau bicara dan marah pada kita.
Bila kita tidak berusaha mendengarkan mereka, maka mereka pun akan bersikap seperti itu pada kita dan akan belajar mengabaikan kita.
Bila kita tidak berusaha mendengarkan mereka, maka mereka pun akan bersikap seperti itu pada kita dan akan belajar mengabaikan kita.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Jika kita tidak menghendaki hal ini terjadi, maka
mulai saat ini jadilah pendengar yang baik.
Perhatikan setiap ucapannya.
Ajukan pertanyaan pertanyaan untuk menunjukkan
ketertarikan kita akan persoalan yang dihadapinya.
20. SELALU MENURUTI PERMINTAAN ANAK.
Apakah anak kita adalah anak semata wayang? Atau
anak laki laki yang ditunggu tunggu dari beberapa anak perempuan
kakak-kakaknya?
Atau mungkin anak yang sudah bertahun tahun
ditunggu tunggu?
Fenomena ini seringkali menjadikan orang tua teramat
sayang pada anaknya sehingga ia menerapkan pola asuh open bar, atau mau apa aja
boleh atau dituruti.
Seperti Radja Ketjil, semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini sudah menjadi kebiasaan akan sulit sekali membendungnya.
Seperti Radja Ketjil, semakin hari tuntutannya semakin aneh dan kuat, jika ini sudah menjadi kebiasaan akan sulit sekali membendungnya.
Anak yang dididik dengan cara ini akan menjadi
anak yang super egois, tidak kenal
toleransi, dan tidak bisa bersosialisasi.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Betapapun sayangnya kita pada anak, jangan lah
pernah memberlakukan pola asuh seperti ini. Rasa sayang tidak harus di
tunjukkan dengan menuruti segala kemauannya. Jika kita benar sayang, maka kita
harus mengajarinya tentang nilai baik dan buruk, yang benar dan yang salah,
yang boleh dan yang nggak. Jika tidak, rasa sayang kita akan membuat membuatnya
jadi anak yang egois dan ‘semau gue’. Inilah yang dalam bahasa awam sering
disebut anak manja.
21. TERLALU BANYAK LARANGAN
Ini adalah kebalikan dari kebiasaan di atas.
Bila kita termasuk orang tua yang berkombinasi
Melankolis dan Koleris,
kita mesti berhati2 karena biasanya kombinasi ini
menghasilkan jenis orang tua yang “Perfectionist”.
Orang tua jenis ini cenderung ingin menjadikan
anak kita seperti apa yang kita inginkan secara SEMPURNA,
kita cenderung membentuk anak kita sesuai dengan
keinginan kita;
anak kita harus begini tidak boleh begitu;
dilarang melakukan ini dan itu.
Pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan cara kita.
Pada saatnya anak tidak tahan lagi dengan cara kita.
Ia pun akan melakukan perlawanan, baik dengan
cara menyakiti diri (jika anak kita tipe sensitive)
atau dengan perlawanan tersembunyi (jika anak
kita tipe keras) atau dengan perang terbuka (jika anak kita tipe ekspresif
keras).
Oleh karena itu, kurangilah sifat perfeksionis
kita. Berilah izin kepada anak untuk melakukan banyak hal yang baik dan
positif.
Berlatihlah untuk selalu berdialog agar kita bisa
melihat dan memahami sudut pandang orang lain.
Bangunlah situasi saling mempercayai antara anak
dan kita.
Kurangilah jumlah larangan yang berlebihan dengan
meminta pertimbangan pada pasangan kita.
Gunakan kesepakatan2 untuk memberikan batas yang
lebih baik.
Misal, kamu boleh keluar tapi jam 9 malam harus
sudah tiba di rumah.
Jika kemungkinan pulang terlambat, segera beri
tahu Papa/Mama.
22. TERLALU CEPAT MENYIMPULKAN
Ini adalah gejala lanjutan jika kita sebagai
orang tua yang mempunyai kebiasaan menjadi pendengar yang buruk.
Kita cenderung memotong pembicaraan pada saat
anak kita sedang memberi penjelasan,
dan segera menentukan kesimpulan akhir yang
biasanya cenderung memojokkan anak kita.
Padahal kesimpulan kita belum tentu benar, dan
bahan seandainya benar, cara seperti ini akan menyakitkan hati anak kita.
Seperti contoh anak yang pulang terlambat.
Seperti contoh anak yang pulang terlambat.
Pada saat anak kita pulang terlambat dan hendak
menjelaskan penyebabnya, kita memotong pembicaraannya dengan ungkapan,
“Sudah! Nggak pake banyak alesan.” Atau “Ah,
Papa/Mama tahu, kamu pasti maen ke tempat itu lagi kan?!”.
Jika kita melakukan kebiasaan ini terus menerus, anak akan berpikir kita adalah orang tua ST001 [alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan.
Jika kita melakukan kebiasaan ini terus menerus, anak akan berpikir kita adalah orang tua ST001 [alias Sok Tau Nomor Satu], yang tidak mau memahami keadaan dan menyebalkan.
Lalu mereka tidak mau bercerita atau berbicara
lagi, dan akibat selanjutnya sang anak akan benar-benar melakukan hal hal yang
kita tuduhkan padanya.
Ia tidak mau mendengarkan nasehat kita lagi, dan
pada tahapan terburuk, dia akan pergi pada saat kita sedang berbicara padanya.
Pernahkah anda mengalami hal ini?
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Jangan pernah memotong pembicaraan dan mengambil
kesimpulan terlalu dini.
Tak seorang pun yang suka bila pembicaraannya dipotong,
apalagi ceritanya disimpulkan oleh orang lain.
Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil memberikan tanggapan positif dan antusias.
Dengarkan, dengarkan, dan dengarkan sambil memberikan tanggapan positif dan antusias.
Ada saatnya kita akan diminta bicara, tentunya
setelah anak kita selesai dengan ceritanya.
Bila anak sudah membuka pertanyaan, “menurut
Papa/Mama bagaimana?”
artinya ia sudah siap untuk mendengarkan
penuturan atau komentar kita.
23. MENGUNGKIT KESALAHAN MASA LALU
23. MENGUNGKIT KESALAHAN MASA LALU
Kebiasan menjadi pendengar yang buruk dan terlalu
cepat menyimpulkan akan dilanjutkan dengan penutup yang tidak kalah menyakitkan
hati anak kita,
yakni dengan mengungkit ungkit catatan kesalahan
yang pernah dibuat anak kita.
Contohnya, “Tuh kan Papa/Mama bilang apa? Kamu
tidak pernah mau dengerin sih, sekarang kejadian kan.
Makanya dengerin kalau orang tua ngomong. Dasar
kamu emang anak bodo sih.”
Kiat berharap dengan mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar dari masalah.
Kiat berharap dengan mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar dari masalah.
Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan
sakit hati dan berusaha mengulangi kesalahannya sebagai tindakan balasan dari
sakit hatinya.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Jika kita tidak ingin anak berperilaku buruk
lagi, jangan lah diungkit ungkit masa lalunya. Cukup dengan tatapan mata, jika
perlu rangkullah ia. Ikutlah berempati sampai dia mengakui kesalahan dan
kekeliruannya. Ucapkan pernyataan seperti “manusia itu tempatnya salah dan
lupa, semoga ini menjadi pelajaran berharga buat kamu”, atau “Papa/mama bangga
kamu bisa menemukan hikmah positif dari kejadian ini”. Jika ini yang kita
lakukan, maka selanjutnya dia akan lebih mendengar nasehat kita. Coba dan
buktikanlah!.
24. SUKA MEMBANDINGKAN
Hal yang paling menyebalkan adalah saat kita dibandingkan
dengan orang lain.
Bila kita sedang berada di suatu acara dan
bertemu dengan orang yang berpakaian hampir sama atau berwarna sama,
kita merasa tidak nyaman untuk berdekatan.
Apalagi jika dibanding bandingkan [FTR, saya tidak merasa seperti ini lho!]
Secara psikologis, kita sangat tidak suka bila keberadaan kita baik secara fisik atau sifat-sifat kita dibandingkan dengan orang lain.
Secara psikologis, kita sangat tidak suka bila keberadaan kita baik secara fisik atau sifat-sifat kita dibandingkan dengan orang lain.
Coba ingat ingatlah pengalaman kita saat ada
orang yang membandingkan kita, bagaimana perasaan kita saat itu?
Tetapi anehnya, kebanyakan orang tua entah kenapa justru sering melakukan hal ini pada anaknya.
Tetapi anehnya, kebanyakan orang tua entah kenapa justru sering melakukan hal ini pada anaknya.
Misal membandingkan anak yang malas dengan yang
rajin. Anak yang rapi dengan yang gedabrus. Anak yang cekatan dengan anak yang
lamban.
Terutama juga anak yang mendapat nilai tinggi di
sekolah dengan anak yang nilainya rendah.
Ungkapan yang sering terdengar biasanya seperti,
“Coba kamu mau rajin belajar kayak adikmu, maka pasti nilai kamu tidak seperti
ini!”.
Jika kita tetap melakukan kebiasaan ini, maka ada beberapa akibat yang langsung kita rasakan; anak kita makin tidak menyukai kita.
Jika kita tetap melakukan kebiasaan ini, maka ada beberapa akibat yang langsung kita rasakan; anak kita makin tidak menyukai kita.
Anak yang dibandingkan akan iri dan dengki dengan
si pembanding. Anak pembanding akan merasa arogan dan tinggi hati.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Tiap manusia terlahir dengan karakter dan sifat
yang unik. Maka jangan sekali kali membandingkan satu dengan yang lainnya.
Catatlah perubahan perilaku masing-masing anak.
Jika ingin membandingkan, bandingkanlah dengan
perilaku mereka di masa lalu, ataupun dengan nilai nilai ideal yang ingin
mereka capai.
Misalnya, “Eh, biasanya anak papa/mama suka
merapikan tempat tidur, kenapa hari ini nggak ya?”
25. PALING BENAR DAN PALING TAHU SEGALANYA
Egosentris adalah masa alamiah yang terjadi pada
anak usia 1-3 tahun.
Usia tersebut adalah masa ketika anak merasa
paling benar dan memaksakan kehendaknya.
Tapi entah mengapa ternyata sifat ini terbawa dan
masih banyak dimiliki oleh para orang tua.
Contoh ungkapan orang tua, “ah kamu ini anak bau
kencur, tau apa kamu soal hidup.”
Atau, “kamu tau nggak, kalo papa/mama ini sudah
banyak makan asam garam kehidupan, jadi nggak pake kamu nasehatin papa/mama!”.
Jika kita memiliki kebiasaan semacam ini, maka kita membuat proses komunikasi dengan anak mengalami jalan buntu.
Jika kita memiliki kebiasaan semacam ini, maka kita membuat proses komunikasi dengan anak mengalami jalan buntu.
Meskipun maksud kita adalah untuk menunjukkan superioritas
kita di depan anak,
tapi yang ditangkap anak adalah semacam
kesombongan yang luar biasa, dan tentu saja tak seorang pun mau mendengarkan
nasehat orang yang sombong.
APA YANG SEHARUSNYA KITA LAKUKAN?
Seringkali usia dijadikan acuan tentang banyaknya
pengetahuan juga banyaknya pengalaman. Pada zaman dulu hal ini bisa jadi benar,
namun untuk saat ini, kondisi itu tidak berlaku lagi. Siapa yang lebih banyak
mendapatkan informasi dan mengikuti kegiatan kegiatan, maka dialah yang lebih
banyak tahu dan berpengalaman.
Jadi janganlah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita.
Jadi janganlah merasa menjadi orang yang paling tahu, paling hebat, paling alim. Dengarkanlah setiap masukan yang datang dari anak kita.
26. SALING MELEMPAR TANGGUNG JAWAB
Mendidik anak terutama menjadi tanggung jawab
orang tua, yaitu ayah dan ibu.
Bila kedua belah pihak merasa kurang bertanggung
jawab, maka proses pendidikan anak akan terasa timpang dan jauh dari berhasil.
Celakanya lagi, bila orang tua sudah mulai
merasakan dampak perlawanan dari anak anaknya, yang sering terjadi malah saling
menyalahkan satu sama lain.
Pernyataan yang kerap muncul adalah, “kamu emang nggak becus ngedidik anak”,
Pernyataan yang kerap muncul adalah, “kamu emang nggak becus ngedidik anak”,
dan kemudian dibalas “enak aja lo ngomong begitu,
nah kamu sendiri, selama ini kemana aja?!”.
Jika cara ini yang dipertahankan di keluarga,
akankah menyelesaikan masalah?
Tunggu saja hasilnya, pasti orang tua lah yang
akan menuai hasilnya, sang anak akan merasa perilaku buruknya adalah bukan
karena kesalahannya,
tapi karena ketidak becusan salah satu dari orang
tuanya. Jelas anak kita akan merasa terbela dan semakin berperilaku buruk.
APA YANG SEHARUSNYA KITA LAKUKAN?
Hentikan saling menyalahkan. Ambillah tanggung
jawab kita selaku orang tua secara berimbang.
Keberhasilan pendidikan ada di tangan orang tua.
Pendidikan adalah kerja sama tim, dan bukan individu.
Jangan pakai alasan tidak ada waktu, semua orang
sama sama memiliki waktu 24 jam sehari,
jadi aturlah waktu kita dengan berbagai macam
cara dan kompaklah selalu dengan pasangan kita.
Selalu lakukan introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.
Selalu lakukan introspeksi diri sebelum introspeksi orang lain.
27. KAKAK HARUS SELALU MENGALAH
Di negeri ini terdapat kebiasaan bahwa anak yang
lebih tua harus selalu mengalah pada saudaranya yang lebih muda.
Tampaknya hal itu sudah menjadi budaya. Tapi
sebenarnya, adakah dasar logikanya dan dimana prinsip keadilannya?
ADA SATU CONTOH NYATA SEPERTI BERIKUT:
Ada seorang kakak beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq.
Ada seorang kakak beradik, kakak bernama Dita dan adik bernama Rafiq.
Neneknya selaku pengasuh utama selalu memarahi
Dita ketika Rafiq menangis.
Tanpa mengetahui duduk persoalan serta siapa yang
salah dan benar,
si Nenek selalu membela si adik dan melimpahkan
kesalahan pada kakaknya.
“Kamu ini gimana sih? Sudah besar kok tidak mau
mengalah ama adiknya.”
Begitulah ucapan yang keluar dari mulut si Nenek.
Terkadang dibumbui dengan cubitan pada kakaknya.
Apa yang terjadi selanjutnya? Dita menjadi anak yang tidak memiliki rasa percaya diri. Ia pun mulai membenci adiknya.
Apa yang terjadi selanjutnya? Dita menjadi anak yang tidak memiliki rasa percaya diri. Ia pun mulai membenci adiknya.
Lama kelamaan Dita mulai banyak melawan atas
ketidak adilan ini, dan yang terjadi kemudian adalah kedua bersaudara ini makin
sering bertengkar.
Sementara Rafiq yang selalu dibela bela menjadi
makin egois dan makin berani menyakiti kakaknya, selalu merasa benar dan
memberaontak.
Sang nenek perlahan lahan menobatkan Radja Ketjil
yang lalim di tengah keluarga ini.
APA YANG SEHARUSNYA KITA LAKUKAN?
Anak harus diajari untuk memahami nilai benar dan
salah atas perbuatannya terlepas dari apakah dia lebih muda atau lebih tua.
Nilai benar dan salah tidak mengenal konteks
usia. Benar selalu benar dan salah selalu salah berapapun usia pelakunya.
Berlakulah adil. Ketahuilah informasi secara lengkap sebelum mengambil keputusan.
Berlakulah adil. Ketahuilah informasi secara lengkap sebelum mengambil keputusan.
Jelaskan nilai benar dan salah pada masing masing
anak, buat aturan main yang jelas yang mudah dipahami oleh anak anak anda
28. MENGHUKUM SECARA FISIK
28. MENGHUKUM SECARA FISIK
Dalam kondisi emosi, kita cenderung sensitif oleh
perilaku anak, dimulai dengan suara keras, dan kemudian meningkat menjadi tindakan
fisik yang menyakiti anak.
Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan trengginas, suka menyakiti orang lain dan membangkang secara destruktif.
Jika kita terbiasa dengan keadaan ini, kita telah mendidiknya menjadi anak yang kejam dan trengginas, suka menyakiti orang lain dan membangkang secara destruktif.
Perhatikan jika mereka bergaul dengan teman
sebayanya. Percaya atau tidak, anak akan meniru tindakan kita yang suka
memukul.
Anak yang suka memukul temannya pada umumnya
adalah anak yang sering dipukuli di rumahnya.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Jangan pernah sekalipun menggunakan hukuman fisik
kepada anak, mencubit, memukul, atau menampar bahkan ada juga yang pakai alat
seperti cambuk, sabuk, rotan, atau sabetan.
Gunakanlah kata-kata dan dialog, dan jika cara dialog tidak berhasil maka cobalah evaluasi diri kita.
Gunakanlah kata-kata dan dialog, dan jika cara dialog tidak berhasil maka cobalah evaluasi diri kita.
Temukanlah jenis kebiasaan yang keliru yang
selama ini telah kita lakukan dan menyebabkan anak kita berperilaku seperti
ini.
29. MENUNDA ATAU MEMBATALKAN HUKUMAN
Kita semua tahu bahaya yang luar biasa dari
merokok, mulai dari kanker, impotensi, sampai gangguan kehamilan dan janin.
Tapi mengapa masih banyak yang tidak peduli dan
tetap membandel untuk terus menjadi ahli hisap?
Jelas karena akibat dari rokok itu terjadi
kemudian dan bukan seketika itu juga.
Begitu juga dengan anak kita. Jika anda menjanjikan sebuah konsekuensi hukuman atau sanksi bila anak berperilaku buruk,
Begitu juga dengan anak kita. Jika anda menjanjikan sebuah konsekuensi hukuman atau sanksi bila anak berperilaku buruk,
jangan menunggu waktu yang terlalu lama, menunda,
atau bahkan membatalkan karena alasan lupa atau kasihan.
Bila telah terjadi kesepakatan antara kita dan anak seperti tidak boleh minta minta dibelikan permen atau mainan dan ternyata anak mencoba coba untuk merengek,
Bila telah terjadi kesepakatan antara kita dan anak seperti tidak boleh minta minta dibelikan permen atau mainan dan ternyata anak mencoba coba untuk merengek,
kita ingatkan kembali pada kepadanya tentang kesepakatan
yang kita buat bersama. Anak biasanya akan berhenti merengek.
Namun sayangnya ketika anak berhenti merengek,
kita menganggap masalah susah selesai dan akhirnya kita menunda atau bahkan
membatalkan hukuman entah karena lupa atau kasihan. Apa akibatnya? Anak akan
mempunyai anggapan bahwa kita hanya omong doang,
maka mereka akan mempunya tendensi untuk
melanggar kesepakatan karena hukuman tidak dilaksanakan.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Jila kita sudah mempunyai kesepakatan dan anak
melanggarnya, maka sanksi harus dilaksanakan,
jika kita kasihan, kita bisa mengurangi
sanksinya, dan usahakan hukumanya jangan bersifat fisik,
tapi seperti pengurangan bobot kesukaan mereka
seperti jam bermain, menonton tv, ataupun bermain video game.
30. TERPANCING EMOSI
30. TERPANCING EMOSI
Jika ada keinginannya yang tidak terpenuhi anak
sering kali rewel atau merengak, menagis, berguling dsb,
dengan tujuan memancing emosi kita yang aada akhirnya
kita marah atau malah mengalah.
Jika kita terpancing oleh emosi anak, anak akan
merasa menang, dan merasa bisa megendalikan orang tuanya.
Anak akan terus berusaha mengulanginya pada
kesempatan lain dengan pancingan emosi yang lebih besar lagi.
APA YANG SEHARUSNYA KITA LAKUKAN?
Yang terbaik adalah diam, tidak bicara, dan tidak
menanggapi. Jangan pedulikan ulah anak kita.
Bila anak menangis katakan padanya bahwa
tangisannya tidak akan mengubah keputusan kita.
Bila anak tidak menangis tapi tetap berulah, kita
katakan saja bahwa kita akan mempertimbangkan keputusan kita dengan catatan si
anak tidak berulah lagi.
Setelah pernyataan itu kita keluarkan, lakukan
aksi diam. Cukup tatap dengan mata pada anak kita yang berulah, hingga ia
berhenti berulah.
Bila proses ini membutuhkan waktu lebih dari 30
menit tabahlah untuk melakukannya.
Dalam proses ini kita jangan malu pada orang yang
memperhatikan kita;
dan jangan pula ada orang lain yang berusaha
menolong anak kita yang sedang berulah tadi…
SEKALI KITA BERHASIL MEMBUAT ANAK KITA MENGALAH,
MAKA SELANJUTNYA DIA TIDAK AKAN MENGULANGI UNTUK YANG KEDUA KALINYA.
31. MENGHUKUM ANAK SAAT KITA MARAH
Hal yang perlu kita perhatikan dan selalu ingat
adalah jangan pernah memberikan sanksi atau hukuman apa pun pada anak ketika
emosi kita sedang memuncak.
Pada saat emosi kita sedang tinggi, apa pun yang
keluar dari mulut kita, baik dalam bentuk kata2 maupun hukuman akan cenderung
menyakiti dan menghakimi dan tidak menjadikan anak lebih baik. Kejadian
tersebut akan membekas meski ia telah beranjak dewasa. Anak juga bisa mendendam
pada orang tuanya karena sering mendapatkan perlakuan di luar batas.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Bila kita sedang sangat marah segeralah menjauh dari anak.
Pilihlah cara yang tepat untuk bisa menurunkan amarah kita dengan segera.
Saat marah kita cenderung memberikan hukuman yang seberat2ya pada
anak kita, dan hanya akan menimbulkan perlawanan baru yang lebih kuat dari anak
kita,
sementara tujuan pemberian sanksi adalah untuk menyadarkan anak
supaya ia memahami perilaku buruknya.
Setelah emosi reda, barulah kita memberikan hukuman yang mendidik
dan tepat dengan konteks kesalahan yang diperbuat.
Ingat, prinsip hukuman adalah untuk mendidik bukan menyakiti.
Pilihlah bentuk sanksi atau
hukuman yang mengurangi aktivitas yang disukainya, seperti mengurangi waktu main
game, atau bermain sepeda.
32. MENGEJEK
Orang tua yang biasa menggoda anaknya, seringkali
secara tidak sadar telah membuat anak menjadi kesal.
Dan ketika anak memohon kepada kita untuk tidak
menggodanya, kita malah semakin senang telah berhasil membuatnya kesal atau
malu.
Hal ini akan membangun ketidaksukaan anak pada
kita dan yang sering terjadi anak tidak menghargai kita lagi. Mengapa?
Karena ia menganggap kita juga seperti teman2nya
yang suka menggodanya.
APA YANG SEHARUSNYA KITA LAKUKAN?
APA YANG SEHARUSNYA KITA LAKUKAN?
Jika ingin bercanda dengan anak kita, pilihlan
materi bercanda yang tidak membuatnya malu atau yang merendahkan dirinya.
Akan jauh lebih baik jika seolah-olah kitalah
yang jadi badut untuk ditertawakan. Anak kita tetap akan menghormati kita
sesudah acara canda selesai.
Jagalah batas2 dan hindari bercanda yang bisa
membuat anak kesal apalagi malu. Bagimana caranya?
Lihat ekspresi anak kita. Apakah kesal dan meminta
kita segera menghentikannya?
Bila ya, segeralah hentikan dan jika perlu
meminta maaflah ayas kejadian yang baru terjadi.
Katakan bahwa kita tidak bermaksud merendahkannya
dan kita berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
33. MENYINDIR
Terkadang karena saking marahnya orang tua sering
mengungkapkannya dengan kata2 singkat yang pedas dengan maksud menyindir,
seperti, “Tumben hari gini sudah pulang”, atau
“Sering2 aja pulang malem!” atau ”Memang kamu pikir Mama/Papa in satpam yang
jaga pintu tiap malam?”.
Kebiasaan ini tidak akan membuat anak kita menyadari akan perilaku buruknya tapi malah sebaliknya akan mebuat ia semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita.
Kebiasaan ini tidak akan membuat anak kita menyadari akan perilaku buruknya tapi malah sebaliknya akan mebuat ia semakin menjadi-jadi dan menjaga jarak dengan kita.
Kita telah menyakiti hatinya dan membuatnya tidak
ingin berkomunikasi dengan kita.
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
APA YANG SEBAIKNYA KITA LAKUKAN?
Katakanlah secara langsung apa yang kita inginkan
dengan kalimat yang tidak menyinggung perasaan, memojokkan bahkan menyakiti
hatinya. Katakan saja, “Sayang, Papa/Mama khawatir akan keselamatan kamu lho
kalo kamu pulang terlalu malam”. Dan sejenisnya.
34. MEMBERI JULUKAN YANG BURUK
Kebiasaan memberikan julukan yang buruk pada anak
bisa mengakibatkan rasa rendah diri, tidak percaya diri/mimder, kebencian juga
perlawanan.
Adakalanya anak ingin membuktikan kehebatan
julukan atau gelar tersebut pada orang tuanya.
Solusinya
Mengganti julukan buruk dengan yang baik, seperti, anak baik, anak hebat, anak bijaksana.
Jika tidak bisa menemukannya cukup dengan panggil
dengan nama kesukaannya saja.
35. MENGUMPAN ANAK YANG REWEL
Pada saat anak marah, merengek atau menangis,
meminta sesuatu dengan memaksa, kita biasanya mengalihkan perhatiannya kepada
hal atau barang lain.
Hal ini dimaksudkan supaya anak tidak merengek
lagi. Namun yang terjadi malah sebaliknya, rengekan anak semakin menjadi-jadi.
Contohnya, anak menangis karena ia minta
dibelikan mainan, Kemudian kita berusaha membuatnya diam dengan berusaha mengalihkan
perhatiannya seperi,
“Tuh lihat tuh ada kakak pake baju warna apa
tuh…” atau ”Lihat ini lihat, gambar apa ya lucu banget?”
Ingatlah selalu, pada saat anak kita sedang fokus pada apa yang diinginkannya, ia akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif.
Ingatlah selalu, pada saat anak kita sedang fokus pada apa yang diinginkannya, ia akan memancing emosi kita dan emosinya sendiri akan menjadi sensitif.
Anak kita pada umumnya adalah anak yang cerdas,
ia tidak ingin dialihkan ke hal lain jika masalah ini belum ada kata sepakat
penyelesaiannya.
Semakin kita berusaha mengalihkan ke hal lain,
semakin marah lah anak kita.
APA YANG SEBAIKNYA DILAKUKAN?
Selesaikan apa yang diinginkan oleh anak kita
dengan membicarakannya dan membuat kesepakatan di tempat, jika kita belum sempat
membuat kesepakatan di rumah.
Katakan secara langsung apa yang kita inginkan
terhadap permintaan anak tesebut, seperti
“Papa/Mama belum bisa membelikan mainan itu saat
ini. Jika kamu mau harus menabung lebih dahulu. Nanti Papa/Mama ajari cara
menabung.
Bila kamu terus merengak kita tidak jadi jalan-jalan
dan langsung pulang.”
Jika kalimat ini yang kita katakan dan anak kita
tetap merengek, segeralah kita pulang meski urusan belanja belum selesai.
Untuk urusan
belanja kita masih bisa menundanya. Tapi jangan sekali-kali menunda dalam
mendidik anak.
36. TELEVISI SEBAGAI AGEN PENDIDIKAN ANAK
Perilaku anak terbentuk karena 4 hal:
berdasar kepada siapa yang lebih dulu mengajarkan kepadanya: kita
atau TV?
oleh siapa yang dia percaya: apakah anak percaya pada kata2 kita
atau ketepatan waktu program2 TV?
oleh siapa yang meyampaikannya lebih menyenangkan: apakah kita
menasehatinya dengan cara menyenangkan atau program2 TV yang lebih
menyenangkan?
oleh siapa yang sering menemaninya: kita atau TV?
APA YANG SEBAIKNYA DILAKUKAN?
Bangun komunikasi dan kedekatan dengan mengevaluasi 4 hal tersebut
yang menjadi faktor pembentuk perilaku anak kita.
Menggantinya dengan kegiatan di rumah atau di luar rumah yang
padat bagi anak2nya.
Gantilah program TV dengan film2 pengetahuan yang lebih mendidik
dan menantang mulai dari kartun hingga CD dalam bentuk permainan edukatif.
37. MENGAJARI ANAK UNTUK MEMBALAS
Sebagian anak ada yang memiliki kecenderungan suka
memukul dan sebagian lagi menjadi objek penderita dengan lebih banyak menerima
pukulan dari rekan sebayanya.
Sebagian orang tua biasanya tidak sabar melihat
anak kita disakiti dan memprovokasi anak kita unutuk membalasnya.
Hal ini secara tidak langsung mengajari anak
balas dendam.
Sebab pada saat itu emosi anak sedang sensitif
dan apa yang kita ajarkan saat itu akan membekas.
Jangan kaget bila anak kita sering membalas atau
membalikkan apa yang kita sampaikan kepadanya.
APA YANG SEBAIKNYA DILAKUKAN?
a. Mengajarkan anak untuk menghindari teman-teman
yang suka menyakiti.
b. Menyampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya.
c. Ajaklah orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio atau media lainnya.
b. Menyampaikan pada orang tua yang bersangkutan bahwa anak kita sering mendapat perlakuan buruk dari anaknya.
c. Ajaklah orang tua anak yang suka memukul untuk mengikuti program parenting baik di radio atau media lainnya.