14 Februari, 2011

Alasan Bersyukur Yang Melampaui Sikon Pribadi & Duniawi

Paulus adalah contoh orang yang sanggup bersyukur dalam segala keadaan, bahkan melampaui keadaan yang sedang dialaminya. Sewaktu ia sendiri dipenjarakan, bukan karena melakukan perbuatan melanggar hukum, melainkan karena ia memberitakan Injil Yesus Kristus. Paulus tidak menunjukkan penyesalan, bersungut-sungut, keluhan, apalagi kutukan oleh karena keadaannya, sebaliknya ia mensharingkan alasan untuk bersyukur yang dilandaskan bukan atas kebaikan yang terjadi, dialami atau diterima dirinya, melainkan kebaikan yang terjadi, dimiliki, dialami oleh orang yang dikasihinya, dilayaninya.

Setiap kali berdoa, Paulus bukan mengingat dan mendoakan kondisi dirinya, tetapi kondisi orang lain, Jemaat yang pernah dilayaninya. Paulus bersyukur mendengar pertumbuhan iman, kasih dan pengharapan mereka di dalam kebenaran, bahkan pelayanan, padahal mereka dalam keadaan tertekan dan terancam. Mendengar mereka tekun dan sabar menderita bagi Tuhan, karena Injil. Paulus merasa bersyukur, karena keadaan dan tindakan kedua jemaat tersebut bernilai kekal di mata Tuhan. Mereka meresponi Injil dengan positif bahkan berani dan giat terlibat dalam pekerjaan pemberitaan Injil, hal yang sangat berharga dan berkenan di hati Tuhan. Untuk semua itu Paulus bersyukur. Paulus menerima penghiburan meskipun ia sendiri terbelenggu di penjara.

Kesulitan terbesar kita dalam mengucap syukur adalah masalah fokus dan standar nilai yang keliru dan fana. Kita terfokus pada diri sendiri, standar kepuasan kita terletak pada tuntutan kenyamanan, rasa aman, 'kesempurnaan', penerimaan atau penghargaan yang kita anggap merupakan hak kita. Ketika hal tersebut redup bahkan raib dari hidup atau lingkungan kita, rasa syukur kitapun menguap.
Kita merasa punya 1001 alasan untuk mengeluh dan bersungut-sungut, untuk menyalahkan orang lain dan bahkan Tuhan. Akibatnya kapasitas bersyukur kita sangat tergantung kondisi diri atau lingkungan yang bersifat fana dan berpusat pada diri sendiri. Paulus mengingatkan dan meneladankan pentingnya kita belajar bersyukur atas perkara yang bukan cuma berkenaan dengan kehidupan pribadi kita, tapi berkenaan dengan hidup orang lain, bukan terbatas pada perkara-perkara terbatas dan fana di dunia: kesehatan, kenyamanan, rasa aman, kecukupan, pekerjaan, dan sejenisnya, tapi mencakup perkara rohani yang abadi, hal-hal yang bersifat kemajuan karakter, iman, dedikasi & kontribusi hidup bagi keselamatan banyak orang, perluasan Kerajaan Allah.

Ada seorang janda kaya yang terbelenggu duka karena ditinggal mati anak tunggalnya, dia sudah tak memiliki semangat dan alasan untuk hidup. Sampai suatu hari penjaga kubur yang ditugasi mengganti bunga di kuburan anaknya, melaporkan bahwa ia tak membelikan bunga bagi kuburan anaknya, tapi memberikannya pada orang dan keluarga sekitar kuburan yang membutuhkan perhatian dan dorongan. Laporan tersebut yang sempat membuatnya marah, namun setelah amarahnya reda, dia berpikir ternyata tindakan penjaga kubur tersebut yang mengarahkan perhatian pada mereka yang masih hidup agar beroleh kekuatan menjalani hidup lebih berarti daripada hidup dalam duka, menangisi yang sudah mati. Kini hidupnya mulai diwarnai semangat membagi hidup dan penuh syukur ketika fokusnya berubah. Sasarannya bukan lagi diri sendiri tapi orang lain.

RASA SYUKUR YANG MELAMPAUI KEADAAN PRIBADI DAN DUNIAWI ADALAH PANGKAL KEKUATAN DAN KEMENANGAN HIDUP DI DUNIA.

[Kolose 1:3,12; Filipi 1:3-5]

Tidak ada komentar: